Selasa, 17 Mei 2011


MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH KONSEP MANAJEMEN PNF
DI ERA OTONOM PENDIDIKAN

             
Abstrak: peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas SDM tersebut adalah melalui pendidikan sehingga kualitas pendidikan harus senantiasa ditingkatkan. Sebagai faktor penentu dalam keberhasilan pembangunan, kualitas SDM perlu mendapat prioritas untuk ditingkatkan dengan melalui berbagai program pendidikan yang dilaksanakan secara sistematis dan terarah berdasarkan kepentingan yang dilaksanakan secara sistematis dan terarah berdasarkan kepentingan yang mengacu pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dengan dilandasi iman dan takwa (imtak). Dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, pada hakikatnya memberi kewenangan dan keluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan otonomi daerah yang dilandasi oleh UU tersebut telah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam rancangan UU Sistem Pendidikan Nasional yang banyak menimbulkan kontroversial akhir-akhir ini juga dijelaskan bahwa pelaksanaan serta tanggungjawab pendidikan sesuai dengan UU Otda maka Kepala Daerah (Bupati/Walikota/Camat) akan diberi wewenang penuh untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah. Dengan demikian MBL pada era otonomi merupakan suatu hal yang harus dikedepankan, termasuk di dalamnya pada penyelenggaraan pendidikan Non Formal.

Kata kunci: manajemen berbasis sekolah, sistem pendidikan, otonomi pendidikan

          Pendidikan itu sebenarnya untuk siapa? Sudah pasti jawabannya adalah bahwa pendidikan itu untuk anak didik, untuk anak bangsa yang merupakan generasi penerus masa depan. Jika demikian, tentunya isi pendidikan haruslah disesuaikan mereka di masa depan dan polanya tentu juga harus disesuaikan dengan apa isi pendidikan dan karakteristik anak didik.
          Pada satu sisi yang lain, karakteristik anak didik dan lingkungan pendukungnya sangat beragam. Disinilah Pendidikan Non Formal (PNF) dapat memainkan perannya. Pendidikan itu berlangsung seumur hidup dan setiap individu merupakan “learning station”, maka satu-satunya sistem pendidikan yang dapat mengurangi jurang-jurang perbedaan antara penduduk yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan atau kurang.
          Selama ini, terkesan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah hanya diperuntukkan bagi sekolah-sekolah formal, padahal lembaga-lembaga penyelenggaran PNF adalah juga “sekolah”. Sehingga Manajemen Berbasis Skolah sah-sah saja diterapkan oleh “sekolah” PNF, karena lembaga-lembaga penyelenggara PNF juga memiliki kewenangan yang sama untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki.

Pembahasan

1. Konsep dasar Manajemen Berbasis Sekolah
          MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (melibatkan masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat (E. Mulyasa, 2002:24). Pada sistem MBS, sekolah dituntut untuk menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.
          Konsep dasar Manajemen Berbasis Skolah (MBS) adalah                             1. Pengambilan keputusan pendidikan dilaksanakan pada level skolah, namun tentu saja tetap dalam koridor pendidikan yang secara umum ditetapkan secara nasional; 2. Pengambilan keputusan dilakukan secara paritisipatif bersama stake holder skoelah (M. Samani, 1999:28).
          Dalam MBS, sekolah memiliki kewenangan menentukan berbagai kebijakan operasional pendidikan yang diyakini sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak didik. Ada sembilan bidang yang menjdi kewenangan MBS, yaitu: 1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah; 2. Pengelolaan kurikulum; 3. Pengelolaan proses pembelajaran;                     4. Pengelolaan ketenagaan; 5. Pengelolaan peralatan dan fasilitas;                   6. Pengelolaan peralatan dan fasilitas; 6. Pengelolaan keuangan;                     7. Pelayanan kewarga belajaran; 8. Hubungan sekolah dan masyarakat; 9. Pengelolaan iklim sekolah.
          MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan nasional. (E. Mulyasa, 2002:24) Mengapa otonomi diberikan kepada sekolah? Agar masing-masing sekolah dapat dengan leluasa mengalokasikan sumber daya dan sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuha. Masyarakat juga ikut dilibatkan agar mereka lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan.
          Tetap ada koridor yang berlaku secara nasional, namun hanya bersifat umum dan sekolah memiliki ruang gerak untuk menjabarkan lebih lanjut. Misalnya, tetap ada kurikulum nasional yang banyak memuat kompetensi yang harus dicapai dan materi pokok. Kompetensi dan materi pokok ini yang diturunkan dari analisis tantang masa depan yang secara umum berlaku di seluruh Indonesia. Lebih dari iru, pendidikan, diserahkan sepenuhnya kepada sekolah (bukan kepala sekolah). Jika kurikulum nasional mencakup 60%, maka yang 40% diserahkan kepada sekolah sebagai muatan lokal juga mata pelajaran yang ditentukan secara nasional.
          Dalam MBS, sekolah harus difahami sebagai unit kerja ‘otonom’ yang memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan secara mandiri, tetapi harus berpegang pada koridor kebijakan nasional. Dengan digunakannya MBS, sekolah didorong untuk menyusun rencana pengembangan sekolah, termasuk menentukan visi dan misi sekolah, tujuan jangka panjang maupun sasaran tahunan yang ingin dicapai, merancang jumlah warga belajar yang dibina, jumlah Pamong Belajar yang diperlukan, dan sebagainya. Mengapa kewenangan kepada sekolah? Karena sekolah yang paling mengetahui kondisi dan kebutuhan warga belajar dibanding dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kotamadia, atau Propinsi bahkan Pusat. Pola pikir bahwa sekolah sekedar sebagai unit pelaksana teknis (UPT) harus ditinggalkan. Dengan prinsip tersebut diharapkan dimasa depan setiap sekolah memiliki ciri-ciri khusus yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat yang dilayani (anak didik). Ciri khusus itulah yang akhirnya menjadi keunggulan setiap sekolah.
          Dalam MBS, fungsi birokrasi kependidikan akan berubah. Jika selama ini fungsi birokrasi sebagai ‘pembina’ yang dalam praktek sebagai penentu kebijakan dan pengontrol pelaksanaannya di sekolah, maka dalam MBS fungsi tersebut sebagai konsultan yang membantu sekolah memecahkan masalah yang dihadapi. Birokrasi hanya memberikan saran, sedang keputusan akhir tetap sekolah yang menentukan.
          Kerja sama antar warga sekolah (Pamong Belajar, karyawan, warga belajar, orang tua warga belajar) dan antara sekolah dengan masyarakat (termasuk dunia kerja) harus dibangun. Sekolah harus mampu mengajak masyarakat untuk “ikut memiliki” sekolah yang bersangkutan. Atau dapat dikatakan “community participation” merupakan syarat keberhasilan MBS. Untuk mampu menumbuhkan iklim kerjasama diperlukan syarat keterbukaan, baik dalam program maupun pengelolaan keuangan. Open Manajemen harus benar-benar diterapkan dalam pelaksanaannya. Kurangnya transparansi dapat menyebabkan rasa curiga yang pada gilirannya menumbuhkan rasa kurang percaya yang menjadi penghalang besar kerjasama antar warga sekolah maupun sekolah dengan masyarakat.
          Karena kewenangan diserahkan kepada sekolah, maka sekolah harus berani bertanggungjawab terhadap kebijakan dan program yang disusun maupun pelaksanaan, termasuk pengelolaan keuangannya. Artinya sekolah harus siap diaudit oleh masyarakat, karena dalam MBS sekolah didorong menjadi milik publik. Di sinilah pentingnya peran kontrol masyarakat terhadap sekolah. Yang sangat penting bahwa melalui “kewenangan” tersebut diharapkan sekolah melakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan mutu layanan dan mutu hasil pendidikan. Dengan demikian MBS hanyalah “alat” untuk mendorong sekolah agar mampu melakukan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan anak didik dan kondisi masyarakat. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya diperlukan kemampuan pimpinan sekolah yang cerdik dalam melakukan terobosan dalam meningkatkan mutu pendidikan.

2. Manajemen Berbasis Sekolah di Era Otonomi Pendidikan
          Manajemen pendidikan mempunyai dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, semua yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sedangkan dalam sistem desentralisasi, pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua sistem tersebut dalam pelaksanaannya tidak berlaku sendiri-sendiri, tetapi dengan pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah.
          Dalam dunia pendidikan, desentralisasi mengandung arti pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada pengelola pendidikan yang ada di daerah baik tingkat propinsi maupun daerah, sebagai perpanjangan aparat pusat untuk meningkatkan efisiensi kerja dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Dari kalimat tersebut dapat diketahui bahwa MBS adalah aplikasi dari desentralisasi pendidikan. Artinya distribusi kewenangan tidak berhenti di kabupaten/kotamadia saja, tetapi kepada seluruh pihak yang berkepentingan, termasuk Pamong Belajar, orangtua, warga belajar dan masyarakat.
          Kewenangan bukan pada kepala sekolah tetapi sekolah sebagai unit yang didalamnya. Ada komponen Pamong Belajar, warga belajar, orangtua bahkan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya perpindahan sentral kekuasaan kepada kepala sekolah. Kepala Sekolah harus didampingi (dikontrol) oleh pihak-pihak yang berkepentingan (stake holder) yang diwakili oleh Dewan Sekolah. Jadi dalam MBS, kewenangan pengambilan keputusan operasional pendidikan “diserahkan kembali” kepada orang-orang yang secara langsung berkepentingan dengan pendidikan di sekolah yang bersangkutan.
          Dengan pola seperti itu, pada hakekatnya kewenangan pendidikan diserahkan kepada masyraakat. Masyarakat (diwakili oleh mereka yang memiliki kepentingan dan kepedulian) memiliki hak untuk ikut menentukan arah pendidikan. Disinilah esensi MBS sebagai wahana emokratisasi pendidikan. Kewenangan pendidikan tidak semata-mata diserahkan kepada pemerintah, tetapi kepada masyarakat. Pemerintah hanyalah menentukan hal-hal yang bersifat mendasar dan umum.

Kesimpulan
          MBS merupakan perubahan yang sangat fundamental dalam pola pembinaan pendidikan di Indonesia. Pola pembinaan yang selama ini sentraliatik menjadi desentralisasi. Di lain pihak, sekolah yang selama ini tergantung kepada petunjuk dan pemberian dana dari pusat, harus berubah dalam mengambil kebijakan guna memajukan sekolah. Oleh karena itu pelaksanaan MBS memerlukan perubahan sikap dan perilaku seluruh jajaran pendidikan, mulai dari birokrasi di pusat, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kotamadia dan jajaran pendidikan di sekolah, dan bahkan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Samani, Muchlas. 1999. Merenda Pendidikan Masa Depan. Bandung: Remaja Rosdakarya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar