Selasa, 17 Mei 2011

SENSITIVITAS SALMONELLA TYPHI TERHADAP KLORAMFENIKOL
DAN SEFTRIAKSON DI RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA DAN
DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE 2008-2009

Abstrak:         sensitivitas kuman Salmonella typhi terhadap beberapa antibiotik untuk pengobatan demam tifoid khususnya Kloramfenikol dan Seftriakson senantiasa mengalami perubahan. Untuk pasien demam tifoid di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Kloramfenikol bisa dijadikan pilihan untuk pengobatan demam tifoid dari pada Seftriakson. Sedangkan untuk pasien demam tifoid di RSSA Malang penggunaan Kloramfenikol dan Seftriakson perlu pertimbangan karena angka resistensinya yang tinggi terhadap Salmonella typhi.

Kata kunci: salmonella typhi, kloramfenikol, seftriakson

          Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan (Widodo, 2007). Demam tifoid merupakan penyakit endemik di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia (Widodo, 2007). Di Indonesia kejadian demam tifoid berkisar antara 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan angka kematian 2%. Penyakit demam tifoid ini ditemukan hampir sepanjang tahun terutama pada musim panas (Rampengan, 2008).
          Di Jawa Timur kejadian demam tifoid di Puskesmas dan beberapa Rumah Sakit masing-masing 4000 dan 1000 kasus per bulan, dengan angka kematian 0,8%. Hasil penelitian terdahulu di Surabaya menunjukkan bahwa penyakit demam tifoid diperkirakan dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode 1991–1995 telah dirawat 586 penderita demam tifoid dengan angka kematian 1,4%, dan selama periode 1996–2000 telah dirawat 1563 penderita demam tifoid dengan angka kematian 1,09% (Soewandojo, 2007), sedangkan prevalensi demam tifoid di Kabupaten Malang sebanyak 1,2% dari 10.966 sampel pada tahun 2007  (Dinkesjatim, 2008)
          Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, yang merupakan bakteri Gram negatif yang penularannya hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Bakteri mengadakan multiplikasi dalam aliran darah, kemudian di absorbsi ke dalam saluran pencernaan dan dikeluarkan bersama dengan feses penderita tersebut (Rampengan, 2008).
          Obat yang paling banyak digunakan dalam pengobatan demam tifoid adalah Kloramfenikol, obat ini digunakan sejak tahun 1948 dan sampai saat ini masih digunakan sebagai obat pilihan di Indonesia, khususnya di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSU Dr. Saiful Anwar Malang karena efektvitasnya terhadap Salmonella typhi masih tinggi disamping harga obat yang relatif murah  (Musnelina, 2004). Dari kajian tingkat molekuler dikemukakan bahwa bakteri Salmonella typhi menjadi resisten terhadap Kloramfenikol akibat adanya plasmid yang memproduksi enzim Chloramphenicol Acetyltransferase (CAT) yang mengaktivasi Kloramfenikol (Balbi, 2004). Hal ini membuat para ahli mencari alternatif obat lain yang terbaik untuk demam tifoid antara lain Seftriakson (Musnelina, 2004).
          Seftriakson merupakan antibiotik yang efektif pada pengobatan demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah mempunyai daya tembus jaringan dengan baik dan dapat melakukan penetrasi ke tempat inflamasi sehingga membuat Seftriakson menjadi salah satu obat  pilihan kedua  untuk pengobatan demam tifoid terutama di RSUD Dr.Soetomo Surabaya dan RSU Dr. Saiful Anwar Malang (Darmowandowo, 2002). Ivanoff, 2002 menunjukkan bahwa sejak 1990 semakin banyak Salmonella typhi yang resisten terhadap Seftriakson.
          Sifat bakteri yang sering berubah ubah dapat  mempengaruhi keberhasilan pengobatan penyakit infeksi lini pertama serta berpengaruh pada biaya pengobatan pasien di Rumah Sakit. Belum adanya pemantauan secara berkala terhadap data-data sensitivitas kuman terutama Salmonella typhi terhadap obat pilihan pertama untuk demam tifoid yaitu Kloramfenikol dan salah satu obat pilihan kedua yang banyak digunakan yaitu Seftriakson di Jawa Timur khususnya di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSU Dr. Saiful Anwar Malang membuat peneliti ingin mengetahui gambaran sensitivitas Salmonella typhi terhadap Kloramfenikol dan Seftriakson di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan di RSU Dr. Saiful Anwar Malang periode 2008-2009. Bagaimana gambaran sensitivitas Salmonella typhi terhadap Kloramfenikol dan Seftriakson di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan di RSU Dr. Saiful Anwar Malang periode 2008-2009 ?

METODE PENELITIAN
          Rancangan penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah observasional deskriptif dengan pendekatan cross sectional.
          Perlakuan observasi terhadap kuman Salmonella typhi dan kepekaannya di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan di RSU Dr. Saiful Anwar Malang dalam kurun waktu 2008 sampai dengan tahun 2009. Pengumpulan data dari tahun 2008 sampai tahun 2009 mendapatkan 32 isolat positif Salmonella typhi dari spesimen darah, urin, dan feses yaitu 19 isolat dari 427 pasien demam tifoid yang dirawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya yaitu 13 isolat berasal dari spisemen darah, 4 isolat dari urin dan 2 isolat dari feses, sedangkan didapatkan 13 isolat dari 250 pasien demam tifoid yang dirawat di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, yaitu 5 isolat dari darah dan 8 isolat dari urin, isolat tersebut diuji sensitivitasnya dengan antibiotik Amikasin, Amoksisilin, Amoksisilin-asam klavulanat, Seftriakson, Sefotaksim, Siprofloksasin, Meropenem, dan Kloramfenikol.

PEMBAHASAN
          Gambaran sensitivitas Salmonella typhi terhadap Kloramfenikol dan Seftriakson di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan di RSU Dr. Saiful Anwar Malang.
            Salmonella typhi adalah bakteri Gram negatif yang merupakan penyebab penyakit infeksi demam tifoid (Darmowandowo, 2006). Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, serta pemberian antibiotik (Widodo, 2007). Obat-obat antibiotik yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid antara lain Kloramfenikol, Tiamfenikol, Kotrimoksazol, Ampisillin dan Amoksisilin, Sefalosporin generasi ketiga, dan Florokuinolon (Widodo,2007). Hasil tes sensitivitas beberapa antibiotik terhadap Salmonella typhi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya seperti terlihat pada tabel 1:
Tabel 1 Tabel Frekuensi dan Prosentase Respon Sensitivitas Tiap Antibiotik di    
 RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2008-2009
Jenis Antibiotik
Frekuensi Sensitivitas Antibiotik untuk S.typhi
Jumlah
Prosentase Sensitivitas Antibiotik untuk S.typhi
Jumlah
Sensitif
Intermediet
Resisten
Sensitif
Intermediet
Resisten
Amikasin
13
2
4
19
68.4
10.5
21.1
100
Amoksisilin
6
0
13
19
31.6
0
68.4
100
Amoksisilin-Asam Klavulanat
9
7
3
19
47.4
36.8
15.8
100
Seftriakson
6
0
13
19
31.6
0
68.4
100
Sefotaksim
6
0
13
19
31.6
0
68.4
100
Siprofloksasin
19
0
0
19
100
0
0
100
Meropenem
19
0
0
19
100
0
0
100
Kloramfenikol
12
1
6
19
63.2
5.3
31.6
100
 (Data Primer, 2010)
Gambar 1 Diagram Prosentase Respon Sensitivitas Tiap Antiobiotik di RSUD Dr.  Soetomo Surabaya Tahun 2008-2009

Tabel 1 memperlihatkan antibiotik yang masih sensitif untuk Salmonella typhi yaitu Amikasin, Siprofloksasin, Meropenem, dan Kloramfenikol. Sedangkan yang dilakukan di RSU Dr. Saiful Anwar Malang seperti pada tabel 2:

Tabel 2 Tabel Frekuensi dan Prosentase Respon Sensitivitas Tiap Antibiotik di    RSU Dr Saiful Anwar Malang Tahun 2008-2009

Jenis Antibiotik
Frekuensi Sensitivitas Antibiotik untuk S.typhi
Jumlah
Prosentase Sensitivitas Antibiotik untuk S.typhi
Jumlah
Sensitif
Intermediet
Resisten
Sensitif
Intermediet
Resisten
Amikasin
3
3
7
13
23.1
23.1
53.8
100
Amoksisilin
2
0
11
13
15.4
0
84.6
100
Amoksisilin-Asam Klavulanat
5
2
6
13
38.5
15.4
46.2
100
Seftriakson
3
3
7
13
23.1
23.1
53.8
100
Sefotaksim
3
1
9
13
23.1
7.7
69.2
100
Siprofloksasin
9
1
3
13
69.2
7.7
23.1
100
Meropenem
12
0
1
13
92.3
0
7.7
100
Kloramfenikol
3
0
10
13
23.1
0
76.9
100
( Data Primer,2010)

Gambar 2 Grafik Prosentase Respon Sensitivitas Tiap Antibiotik di RSU
                      Dr. Saiful Anwar Malang Tahun 2008-2009

Tabel 2 menunjukkan antibiotik yang masih sensitif tuntuk Salmonella typhi yaitu Siprofloksasin dan Meropenem. Gambaran sensitivitas Salmonella typhi untuk beberapa antibiotik di Jawa Timur yang diwakilkan oleh RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSU Dr. Saiful Anwar Malang seperti pada tabel 3

Tabel 3. Tabel Frekuensi Dan Prosentase Respon Sensitivitas Tiap Antibiotik Di Kedua Rumah Sakit Tahun 2008-2009

Jenis Antibiotik
Frekuensi Sensitivitas Antibiotik untuk S.typhi
Jumlah
Prosentase Sensitivitas Antibiotik untuk S.typhi
Jumlah
Sensitif
Intermediet
Resisten
Sensitif
Intermediet
Resisten
Amikasin
16
5
11
32
50
15.6
34.4
100
Amoksisilin
8
0
24
32
25
0
75
100
Amoksisilin-Asam Klavulanat
14
9
9
32
43.8
28.1
28.1
100
Seftriakson
9
3
20
32
28.1
9.4
62.5
100
Sefotaksim
9
1
22
32
28.1
3.1
68.8
100
Siprofloksasin
28
1
3
32
87.5
3.1
9.4
100
Meropenem
31
0
1
32
96.9
0
3.1
100
Kloramfenikol
15
1
16
32
46.9
3.1
50
100
(Data Primer, 2010)

Gambar 3 Grafik Prosentase Respon Sensitivitas Tiap Antiobiotik Di Kedua         
 Rumah Sakit Tahun 2008-2009

Tabel 3 menunjukkan Siproloksasin dan Meropenem mempunyai sensitivitas tertinggi. Adanya pergeseran sensitivitas Salmonella typhi di kedua tempat yaitu di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan di RSU Dr. Saiful Anwar Malang seperti yang tertulis di dalam bukunya Widodo, 2007. Adanya perbedaan pola sensitivitas Salmonella typhi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, menunjukkan  pola sensitivitas Salmonella typhi terhadap antibiotik yang sama dapat bervariasi. Karena masing-masing daerah mempunyai pola kepekaan yang berbeda dan bervariasi pada waktu dan tempat yang berbeda. Sensitivitas bakteri pada dasarnya merupakan kemampuan alamiah bakteri dalam bertahan hidup (Ryan & Ray, 2004). Menurut Dzen, 2004 faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut seperti overuse dan missuse antibiotik oleh para dokter, penggunaan bebas antibiotik oleh masyarakat, pengobatan yang lama dengan dosis yang rendah, dimana mekanisme resistensi tersebut yaitu dengan cara akumulasi barrier terhadap antibiotik melalui impermeabilitas, perubahan dari target antibiotik sehingga antibiotik tidak mempunyai efek, inaktivasi antibiotika oleh produksi enzim dari bakteri, bakteri membentuk suatu enzim yang telah mengalami perubahan, bakteri memompa keluar (export) antibiotik (Ryan & Ray, 2004).
          Sejak tahun 1948 Kloramfenikol merupakan obat pilihan untuk demam tifoid di Indonesia karena efektivitasnya terhadap Salmonella typhi masih tinggi di samping harga obat yang relatif murah (Musnelina, 2004). Hasil tes sensitivitas Kloramfenikol terhadap Salmonella typhi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya seperti terlihat pada tabel 1 memperlihatkan Kloramfenikol masih sensitif terhadap Salmonella typhi yaitu sebesar 63,2%, ini menunjukkan Kloramfenikol masih efektif untuk pengobatan demam tifoid di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Namun dari hasil tes sensitivitas seperti pada tabel 2 menunjukkan bahwa sensitivitas Kloramfenikol terhadap Salmonella typhi di RSU Dr. Saiful Anwar Malang cukup rendah yaitu  terdapat 76,9% dari 13 isolat sudah mengalami resistensi. Wandana, 2008 menyatakan bahwa antibiotik yang harganya relatif murah seperti Ampisillin, Amoksisilin, dan  Kloramfenikol nilai sensitivitasnya lebih tinggi di Jakarta dibanding di Malang. Dan sebaliknya, antibiotik yang harganya relatif mahal nilai sensitivitasnya lebih baik di Malang dibanding di Jakarta, ini menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat berpengaruh terhadap meningkatnya angka resistensi. Apalagi Kloramfenikol sering diresepkan oleh dokter sehingga menduduki peringkat ke-6 tersering digunakan di RSU Dr. Saiful Anwar Malang (Budi,2000). Dari kajian tingkat molekuler dikemukakan bahwa bakteri Salmonella typhi dapat menjadi resisten akibat adanya plasmid yang memproduksi enzim Chloramphenicol acetyltransferase (CAT) yang menginaktivasi Kloramfenikol (Balbi, 2004 ).
          Obat pilihan kedua yang paling banyak dipakai di RSUD Dr Soetomo Surabaya dan di RSU Dr. Saiful Anwar Malang adalah Seftriakson (Darmowandowo, 2006). Pola kepekaan Salmonella typhi pada kasus demam tifoid yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusomo Jakarta tahun 2000-2004 menunjukkan angka sensitivitas Seftriakson terhadap Salmonella typhi sangat tinggi yaitu 91,9%,  tetapi berbeda dengan hasil yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan di RSU Dr Saiful Anwar malang seperti pada tabel 1 sampai tabel 2 menunjukkan angka sensitivitas Seftriakon terhadap Salmonella typhi yang cukup rendah yaitu di RSUD Dr Soetomo Surabaya isolat Salmonella typhi yang sensitif hanya 31,6% dan yang resisten sebanyak 68,4%, hal yang sama juga terjadi pada isolat Salmonella typhi di RSU Dr. Saiful Anwar Malang terdapat 23,1% yang sensitif dan 53,8% dari 13 isolat Salmonella typhi yang dilakukan tes sensitivitas sudah mengalami resistensi. Tingkat resistensi Seftriakson yang tinggi terhadap Salmonella typhi kemungkinan  karena lama pengobatan selama MRS yang terlalu singkat yaitu 3-6 hari (Husein, 2007) sedangkan lama pengobatan menurut Guideline WHO 2003 lama pengobatan demam tifoid dengan Seftriakson yaitu 10-14 hari, lama pengobatan yang terlalu pendek dapat menginduksi terjadinya resistensi. Ivanoff, 2002 juga menunjukkan bahwa sejak 1990 semakin banyak Salmonella typhi yang resisten tidak hanya terhadap antibiotik yang digunakan secara oral yang sebelumnya bermanfaat seperti Kloramfenikol, Ampisilin dan Kotrimoxazol tetapi juga terhadap antibiotil baru seperti Seftriakson. Seftriakon termasuk dalam golongan Sefalosporin generasi ketiga yang bekerja dengan menghambat transpeptidase peptidoglikan sehingga sintesa dinding sel terhambat. Mekanisme resistensi Salmonella typhi terhadap Seftriakson yaitu dengan cara menghasilkan enzim β-laktamase yang dapat memecah β-laktam dari Seftriakson dan menghilangkan daya antimikrobanya (Petri, 2007).
          Faktor yang mempengaruhi pola sensitivitas antibiotik terhadap Salmonella typhi antara lain riwayat penyakit demam tifoid sebelumnya, riwayat pemakaian antibiotika yaitu pemakaian antibiotika pada saat sakit, cara mengetahui aturan pakai dari antibiotika yang diperoleh dengan resep dokter dan tanpa resep dokter yaitu apakah sesuai anjuran dokter atau tidak, baik dalam hal dosis, cara dan lamanya pemberian. Penyebaran resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat berlangsung akibat dari proses seleksi maupun secara genetik. Penyebaran resistensi akibat dari proses seleksi terjadi karena adanya tekanan selektif (selective pressure) dari penggunaan antibiotika. Pada penyebaran resistensi secara genetik menurut Baron, 2005 dan Madigan, 2000 ada tiga mekanisme perubahan genetik pada prokariotik yaitu transformasi, transduksi dan konjugasi. Salmonella typhi merupakan prokariotik sehingga perubahan genetik dapat terjadi melalui tiga mekanisme tersebut. Nurtjahyani membuktikan bahwa Salmonella typhi yang resisten terhadap Kloramfenikol jika diambil plasmidnya, kemudian dimasukkan ke dalam kultur Salmonella typhi yang sensitif Kloramfenikol, maka Salmonella typhi yang sensitif ini berubah menjadi resisten terhadap Kloramfenikol karena menerima transfer DNA plasmid dari Salmonella typhi resisten Kloramfenikol. Shanahan dalam Nurtjahyani, 2007 secara molekuler pada Salmonella typhi isolat klinik juga ditemukan antibiotik yang resisten pada Salmonella typhi dikode oleh satu dari 4 tipe plasmid. Plasmid sebagai perantara gen resisten untuk Kloramfenikol, Trimethoprim dan Seftriakson adalah CAT tipe I, dihydrofolate reduktase tipe VII dan TEM-I β laktamase.
          Dari data-data yang terdapat diatas, menunjukkan bahwa sensitivitas kuman Salmonella typhi terhadap beberapa antibiotik untuk pengobatan demam tifoid khususnya Kloramfenikol dan Seftriakson senantiasa mengalami perubahan. Untuk pasien demam tifoid di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Kloramfenikol bisa dijadikan pilihan untuk pengobatan demam tifoid dari pada Seftriakson. Sedangkan untuk pasien demam tifoid di RSSA Malang penggunaan Kloramfenikol dan Seftriakson perlu pertimbangan karena angka resistensinya yang tinggi terhadap Salmonella typhi.
          Kelemahannya adalah jumlah sampel penderita demam tifoid yang dikultur terlalu sedikit yaitu 19 sampel (4,4%) dari 427 pasien demam tifoid yang dirawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan 13 sampel (5,2%) dari 250 pasien demam tifoid yang dirawat di RSU Dr. Saiful Anwar Malang. Sampel yang sedikit disebabkan kriteria inklusi yang terlalu ketat yaitu hanya pasien yang diberi pengobatan pertama dengan Kloramfenikol atau Seftriakson serta mempunyai uji kepekaan yang diteliti, dan  tidak semua antibiotik yang telah dilakukan tes sensitivitas pada pasien demam tifoid dijadikan sebagai sampel. Kesulitan yang dialami dalam mengambil kesimpulan disamping karena sampel yang kurang, dari 32 sampel yang diteliti peneliti tidak bisa mengetahui pasien demam tifoid yang diteliti mempunyai riwayat penyakit demam tifoid sebelumnya atau tidak, riwayat pemakaian Kloramfenikol dan Seftriakson yang tidak tercantum dalam rekam medis. Selain itu berdasarkan spesimen pemeriksaan, sampel yang digunakan bermacam-macam spesimen, dimana spisemen ini menunjukkan perjalanan penyakit demam tifoid yang dapat mempengaruhi sensitivitas dari Salmonella typhi.
         
KESIMPULAN
          Kesimpulannya adalah sebagai berikut :
1.    Dalam kurun waktu 2008 sampai 2009, Kloramfenikol masih sensitif untuk Salmonella typhi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya yaitu sebesar 63,3%
2.    Dalam kurun waktu 2008 sampai 2009, Kloramfenikol resisten untuk Salmonella typhi di RSU Dr. Saiful Anwar Malang yaitu sebesar 76,9%
3.    Dalam kurun waktu 2008 sampai 2009, Seftriakson resisten untuk Salmonella typhi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan di RSU Dr. Saiful Anwar Malang.


DAFTAR PUSTAKA

Darmowandodo Widodo, Udjiani Pawitro Edi, Monique Noorvitry, 2005, Demam Tifoid, Ilmu Penyakit Anak Diagnosa & Penatalaksaan. EGC. Jakarta,pp: 1- 49.

Departemen Kesehatan Jawa Timur, 2008,  Laporan Kesehatan Tahun 2008.
            Surabaya.

Dzen, Sjoekoer M, 2004, Bakteriologi Medik, Bayumedia Publishing. Malang,pp: 187-274.

Balbi H J, 2004, Chloramphenicol American Academy of Pediatrics, Pediatrics in Review 25, pp:284-288.

Baron, 2005, Medical Microbiology, Edisi 4 The University of Texas Medical at Galveston.

Husein, Besse’Nurlinda Mustary, 2007. Studi Penggunaan Antibiotik Pada Penderita Demam Tifoid Anak - Rawat Inap Di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya,ADLN Digital Collections

Musnelina lili, 2004, Analisis Efektivitas Biaya Pengobatan Demam Tifoid Anak
            Menggunakan Kloramfenikol dan Seftriakson di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001 – 2002, (online),


Petri Jr WA, 2007,  Penicillin,cephalosporins and other  lactam antibiotics.In : Goodman & Gillman's,Farmakologi Dasar dan Terapi, edisi XI.pp: 1127-225.

Ryan J.K. & Ray G.C, 2004, Sherris Medical Microbiology An Introduction to Infections diseases, Edisi 4. USA. Mc Graw Hill, pp.55-215.

Rampengan TH, 2008, Penyakit Infeksi Tropik pada Anak, Edisi II. EGC,Jakarta.pp: 46-64

Soewandojo Eddy, Suharto, Usman Hadi, Nasronudin, 2007, Demam Tifoid Deteksi Dini dan Tata Laksana, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Airlangga University Press,Surabaya,pp:293-300.

Widodo Djoko, 2007, Demam Tifoid, Imu Penyakit Dalam, Edisi IV,F akultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.pp: 1752-175.

1 komentar:

  1. terimakasih nih pembahasannya...

    http://tokoonlineobat.com/obat-demam-tifoid-alami/

    BalasHapus